Karakteristik Mutu Daging
Oleh: Elvira Syamsir (Tulisan asli dalam
Kulinologi Indonesia edisi Maret 2011)
Mutu merupakan gabungan
atribut produk yang dinilai secara organoleptik dan digunakan konsumen untuk
memilih produk. Pada daging dan produk olahan daging, mutu daging ditentukan
oleh mutu komposisi gizi (rasio antara daging non lemak dengan lemak) dan
palatabilitasnya yang mencakup penampakan, tekstur (juiciness dan keempukan)
dan flavor.
Secara visual, mutu daging
dinilai dari warna, marbling dan daya ikat air (water holding capacity,
WHC)-nya. Daging dinilai bermutu baik jika memiliki warna dan marbling yang
seragam pada keseluruhan potongan daging dan dengan penampakan permukaan yang
kering karena sifat WHC-nya yang baik. Keberadaan marbling tidak saja
mempengaruhi penampakan tetapi juga meningkatkan juiciness, keempukan dan
flavor produk olahan daging. Sementara itu, daya ikat air selain mempengaruhi
penampakan juga akan mempengaruhi juiciness dari produk olahan daging.
Warna
Persepsi terhadap warna
daging, mentah atau telah dimasak, mempengaruhi keputusan konsumen dalam
memilih daging dan produk olahannya. Daging dengan warna menyimpang dianggap
sebagai daging berkualitas rendah.
Mioglobin merupakan pigmen
utama daging dan konsentrasinya akan mempengaruhi intensitas warna merah
daging. Perbedaan kadar miglobin menyebabkan perbedaan intensitas warna daging.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kadar mioglobin adalah spesies, jenis kelamin,
umur dan aktifitas fisik hewan. Hal ini menjelaskan kenapa daging sapi lebih
merah dari daging babi dan daging babi lebih merah dari daging ayam; atau
mengapa daging hewan jantan, hewan tua dan/atau daging paha lebih merah dari
hewan betina, hewan muda dan/atau daging dada.
Warna daging juga
dipengaruhi oleh kondisi penanganan dan penyimpanan. Jenis kemasan, serta suhu
dan lama waktu penyimpanan bisa mempengaruhi warna daging. Hal ini disebabkan
oleh terjadinya perubahan kondisi oksidasi mioglobin yang menyebabkan perubahan
warna daging.
Ketika daging segar dipotong,
maka warna awal yang terlihat adalah warna merah keunguan dari mioglobin.
Setelah beberapa saat terpapar dengan oksigen diudara, maka permukaan daging
segar tersebut akan berubah warna menjadi merah terang karena terjadinya
oksigenasi mioglobin menjadi oksimioglobin. Permukaan daging yang mengalami
kontak dengan udara untuk waktu lama, akan berwarna coklat, karena
oksimioglobin teroksidasi menjadi metmioglobin. Walaupun perubahan warna ini
normal sepanjang bau daging masih khas daging segar, tetapi mengindikasikan
bahwa daging sudah agak lama terekspos dengan udara sehingga sebaiknya segera
dibekukan jika tidak langsung dimasak. Jika daging berwarna coklat dan baunya
tidak lagi khas daging segar, maka kondisi ini menunjukkan bahwa daging
tersebut sudah disimpan di refrigerasi untuk waktu yang lama. Penyimpangan bau
merupakan tanda bahwa daging sudah mulai rusak (busuk) dan hendaknya tidak
dikonsumsi.
Jenis kemasan akan
mempengaruhi warna daging segar. Daging tenderloin sapi, yang dikemas dalam
kemasan vakum akan memiliki warna merah keunguan. Penyebabnya adalah ketiadaan
oksigen didalam kemasan vakum. Jika daging dikeluarkan dari kemasan vakum dan
kontak dengan udara, warna permukaan daging akan menjadi merah terang sementara
bagian dalam tetap berwarna merah-keunguan karena oksigen tidak bisa
berpenetrasi ke bagian dalam daging. Disini terlihat bahwa warna merah dan
merah-keunguan merupakan warna alami daging segar.
Daging sapi yang digiling
dan dikemas dalam wadah yang ditutup dengan film yang permeabilitas oksigennya
baik, umumnya berwarna merah terang. Daging giling yang berada dibagian dalam
berwarna merah-keunguan. Jika daging dibagian dalam ini dikontakkan dengan
udara, maka warnanya akan berubah menjadi merah terang.
Pemasakan daging pada suhu
diatas 80oC menyebabkan pigmen terdenaturasi dan warna daging berubah menjadi
coklat keabuan yang merupakan warna khas daging segar yang dimasak. Pada
pengolahan daging menggunakan garam nitrit (proses kuring), misalnya pada sosis
dan kornet, reaksi nitrit dengan mioglobin menghasilkan nitrosomioglobin yang
ketika dipanaskan (dimasak) pada suhu di atas 65oC akan menghasilkan warna
merah muda yang stabil.
Juiciness
Juiciness atau kesan juicy
produk daging dipengaruhi oleh jumlah air yang dapat dipertahankan untuk tetap
berada di dalam daging setelah dimasak; dan produksi saliva (air ludah) pada
saat pengunyahan. Daya ikat air (WHC) daging akan mempengaruhi seberapa besar
air yang dapat dipertahankan didalam produk sementara kadar lemak marbling akan
membantu merangsang pembentukan saliva.
WHC adalah kemampuan daging
untuk mempertahankan kandungan air (bebas)nya pada saat mendapat tekanan dari
luar, seperti proses pemanasan, penggilingan atau pengepressan. Daging dengan
karakteristik WHC yang baik biasanya akan menghasilkan produk dengan karakter
juiciness yang baik. Denaturasi protein daging karena penurunan pH daging
beberapa waktu setelah penyembelihan, akan menyebabkan turunnya WHC daging.
Akibatnya, daging tidak mampu mempertahankan air daging selama proses pemasakan
dan produk yang dihasilkan akan terasa kering (airnya hilang selama pengolahan)
dan hambar (komponen flavor larut air terbuang bersama air yang keluar). Proses
pelayuan (aging) daging dapat meningkatkan WHC daging sehingga juicinessnya
dapat ditingkatkan.
WHC dapat berubah karena
pemasakan dan menyebabkan pengaruh pada juiciness produk. Peningkatan suhu
pemasakan akan meningkatkan denaturasi protein sehingga WHC menurun dan
karakter juicy produk juga berkurang.
Marbling adalah istilah
populer untuk lemak intramuskuler. Secara visual, marbling terlihat sebagai
butiran lemak putih yang tersebar diantara daging. Pada Gambar 1 dapat dilihat
kondisi marbling daging sapi. Juiciness meningkat ketika kadar marbling
meningkat. Marbling yang meleleh pada saat pemasakan dan pelepasannya selama
pengunyahan bersama-sama dengan sebagian air bebas daging akan meningkatkan
sensasi jus daging. Secara tidak langsung, lemak juga berpengaruh pada
juiciness dengan menghambat penguapan air daging selama pemasakan.
Gambar 1. Penampakan marbling daging sapi
Dari penelitian juga disebutkan adanya korelasi antara kadar
marbling dengan kelezatan (palatabilitas) daging secara keseluruhan. Jika
kandungan lemak marbling kurang dari 3%, palatabilitas menurun dan daging tidak
diterima konsumen. Kandungan marbling yang tinggi (lebih dari 7.3%) ternyata
juga memberikan persepsi negatif terkait dengan peningkatan konsumsi lemak dan
hubungannya dengan penyakit jantung koroner, kegemukan dan kanker.
Keempukan
Keempukan daging sangat mempengaruhi persepsi konsumen dalam
menilai mutu daging. Kesan empuk melibatkan tiga aspek berikut: kemudahan
penetrasi gigi ke dalam daging, kemudahan pengunyahan daging menjadi
potongan-potongan yang lebih kecil dan jumlah residu (sisa) yang tertinggal
setelah pengunyahan.
Spesies, umur dan jenis kelamin hewan akan menentukan tekstur
dagingnya. Daging dengan tekstur yang halus lebih mudah empuk dibandingkan
dengan yang teksturnya kasar. Inilah sebabnya mengapa daging sapi butuh waktu
lebih lama untuk mengempukannya dibandingkan daging babi, domba atau ayam.
Peningkatan ukuran serabut otot dengan meningkatnya umur menyebabkan tekstur
daging dari hewan yang lebih tua akan menjadi lebih kasar dan keempukan akan
menurun. Dari jenis kelamin secara umum diketahui bahwa daging hewan jantan
memiliki tekstur yang lebih kasar dari daging hewan betina. Daging (otot) yang
banyak bergerak, misalnya daging dibagian betis, akan memiliki tekstur lebih
kasar dan menjadi kurang empuk jika dibandingkan dengan daging (otot) yang
terletak pada bagian yang jarang digerakkan, misalnya daging dari bagian
punggung. Peningkatan jumlah jaringan ikat didalam daging akan menurunkan
keempukan daging sementara keberadaan lemak marbling akan meningkatkan
keempukannya.
Proses pelayuan (aging) adalah salah satu cara yang umum
dilakukan untuk mengempukan daging. Pelayuan dilakukan dengan menyimpan daging
didalam refrigerator yang suhunya terkendali, selama 2 – 4 minggu, yang memberi
kesempatan pada enzim yang ada didalam daging untuk memutus protein daging
(miofibril) dan jaringan ikat sehingga daging menjadi lebih empuk. Di jasa
boga, proses pengempukan daging ini dapat dilakukan dengan menambahkan enzim
protease kedalam daging.
Pemasakan dapat meningkatkan atau menurunkan keempukan daging,
tergantung pada suhu dan waktu pemasakan. Suhu pemasakan akan mempengaruhi
kealotan protein miofibrilar sementara lama waktu pemasakan akan mempengaruhi
proses pelunakan kolagen (protein didalam jaringan ikat).
Selama pemasakan, denaturasi dan pengkerutan protein miofibrilar
yang terjadi pada suhu 40 – 45oC dan terus meningkat pada suhu 60oC menyebabkan
kekerasan daging meningkat. Sebaliknya, protein kolagen yang ada didalam
jaringan ikat akan mengalami pemecahan menjadi gelatin dan meningkatkan
keempukan daging pada pemasakan diatas suhu 65oC. Oleh karena itu, untuk
memperoleh daging yang empuk, perhatikan karakteristik daging yang akan
dimasak. Pemasakan daging sebaiknya dilakukan pada suhu internal yang tidak
terlalu tinggi, dengan waktu singkat jika daging hanya mengandung sedikit
jaringan ikat dan waktu yang lebih lama jika jaringan ikat lebih tinggi.
Flavor
Flavor daging dihasilkan dari kombinasi berbagai komponen yang
menstimulasi reseptor penciuman dan rasa yang ada di saluran mulut dan hidung.
Senyawa pembentuk flavor daging terutama komponen-komponen hasil pemecahan
protein (peptida dan asam amino), komponen aroma yang larut air dan gula
pereduksi. Perbedaan jenis dan komposisi lemak menyebabkan adanya sedikit
perbedaan flavor daging dari hewan yang berbeda pada saat daging dimasak.
Reaksi maillard yang merupakan reaksi antara protein daging
terhidrolisa, peptida dan asam amino dengan gula pereduksi berperan penting
dalam menghasilkan flavor daging masak. Faktor aw, pH, suhu dan waktu pemanasan
akan mempengaruhi jenis dan intensitas komponen flavor daging masak yang
dihasilkan. Reaksi ini berlangsung optimum pada kisaran aw 0.5 – 0.8, pH tinggi
dengan suhu antara 100°C (flavor daging rebus) dan 180°C (flavor daging
goreng).
Perbedaan cara memasak akan menghasilkan flavor yang berbeda.
Sebagai contoh, pada daging yang dimasak dengan teknik pemasakan kering, flavor
hanya terbentuk di bagian permukaan daging sementara teknik pemasakan basah
memungkinkan reaksi pembentukan flavor berlangsung sampai ke bagian dalam
daging. Keberadaan komponen lain selama proses pengasapan dan kuring daging
juga akan menghasilkan produk daging dengan flavor yang khas.
Lemak marbling juga berpengaruh terhadap flavor. Daging dengan
marbling rendah selain terlihat kering juga memiliki flavor yang lebih lemah
daripada daging dengan marbling yang lebih banyak. Penelitian menunjukkan bahwa
8 – 9% lemak marbling didalam steak akan menghasilkan flavor yang baik
sementara peningkatan lemak diatas 9% akan memberikan citarasa berminyak.
0 komentar:
Post a Comment