Monday, March 31, 2014

PENGOLAHAN LIMBAH INDUSTRI PERTANIAN

PENDAHULUAN
Industri tahu  merupakan industri kecil yang banyak tersebar di kota-kota besar dan kecil. Tahu merupakan makanan yang digemari oleh banyak orang. Akibat dari banyaknya industri tahu, maka limbah hasil proses pengolahan banyak membawa dampak terhadap lingkungan.
Besarnya beban pencemaran yang ditimbulkan menyebabkan gangguan yang cukup serius terutama untuk perairan disekitar industri tahu. Teknologi pengolahan limbah tahu yang ada saat ini pada umumnya berupa pengolahan limbah sistem anaerob. Dengan proses biologis anaerob, efisiensi pengolahan hanya sekitar 70-80 %, sehingga air lahannya masih mengandung kadar polutan organik cukup tinggi, serta bau yang ditimbulkan dari sistem anaerob dan tingginya kadar fosfat merupakan masalah yang belum dapat diatasi.
Menurut Eddy Prihantoro, 2010, di Indonesia terdapat 84.000 unit pengusaha tahu dengan kapasitas 2,56 juta ton kedelai per tahun. Pengusaha tahu membuang imbah cair 15 – 20 l/kg kedelai, dengan beban TSS 30 g/kg, BOD 65 g/kg dan COD 130 g/kg kedelai (Oliver Mangara Tua B, 2010). Sedangkan menurut Krus Harianto, 1999/2000, limbah cair industri tahu mempunyai suhu 40 – 60 oC, zat padat tersuspensi 1.000 – 3.000 mg/L, zat padat terlarut 2.000 – 5.000 mg/ L, BOD5 2.000 – 7.000 mg/L, COD 4.000 – 13.000 mg/L, amoniak 0,0 – 30 mg/L, sulfide 0,0 – 10 mg/L dan pH 4 – 5.

Thomas E. Higgins, 1995, menyatakan bahwa ada delapan cara untuk menanggulangi pencemaran industri yaitu: penggantian cara – cara pembelian dan pengendalian bahan, pengembangan house keeping, pengubahan cara produksi, penggantian bahan beracun dengan bahan yang kurang beracun, mengurangi limbah, memisah-misahkan limbah, daur ulang limbah dan pengolahan limbah.

Untuk limbah industri tahu ada dua hal yang perlu diperhatikan yakni karakteristik fisika dan kimia. Karakteristik fisika meliputi padatan total, suhu, warna dan bau. Karakteristik kimia meliputi bahan organik, bahan anorganik dan gas.
           Suhu buangan industri tahu berasal dari proses pemasakan kedelai. Suhu limbah cair tahu pada umumnya lebih tinggi dari air bakunya, yaitu 400C sampai 46 °C. Suhu yang meningkat di lingkungan perairan akan mempengaruhi kehidupan biologis, kelarutan oksigen dan gas lain, kerapatan air, viskositas, dan tegangan permukaan.
           Bahan-bahan organik yang terkandung di dalam buangan industri tahu pada umumnya sangat tinggi. Senyawa-senyawa organik di dalam air buangan tersebut dapat berupa protein, karbohidrat, lemak dan minyak. Di antara senyawa-senyawa tersebut, protein dan lemaklah yang jumlahnya paling besar (Nurhasan dan Pramudyanto, 1987), yang mencapai 40% - 60% protein, 25 - 50% karbohidrat, dan 10% lemak (Sugiharto, 1987). Semakin lama jumlah dan jenis bahan organik ini semakin banyak, dalam hal ini akan menyulitkan pengelolaan limbah, karena beberapa zat sulit diuraikan oleh mikroorganisme di dalam air limbah tahu tersebut. Untuk menentukan besarnya kandungan bahan organik digunakan beberapa teknik pengujian seperti BOD, COD dan TOM. Uji BOD merupakan parameter yang sering digunakan untuk mengetahui tingkat pencemaran bahan organik, baik dari industri ataupun dari rumah tangga (Greyson, 1990; Welch, 1992).
           Air buangan  industri tahu kualitasnya bergantung dari proses yang digunakan. Apabila air prosesnya baik, maka kandungan bahan organik pada air buangannya biasanya rendah (Nurhasan dan Pramudya, 1987). Pada umumnya konsentrasi ion hidrogen buangan industri tahu ini cenderung bersifat asam. Komponen terbesar dari limbah cair tahu yaitu protein (N-total) sebesar 226,06 sampai 434,78 mg/l. sehingga masuknya limbah cair tahu ke lingkungan perairan akan meningkatkan total nitrogen di peraian tersebut.
        




PEMBAHASAN
Limbah cair industri tahu mengandung senyawa organik cukup tinggi (BOD sekitar 5.000-6.000 mg/lt) dan bersifat biodegradable, Hal ini menjadi sumber penghasil biogas. Biogas dihasilkan dari proses pengolahan air limbah tahu yang diproses secara an-aerob. Energi biogas dapat menjadi sumber energi alternatif yang dapat dimanfaatkan untuk industri tahu itu sendiri.
Penerapan Teknologi ramah lingkungan dalam upaya meningkatkan nilai tambah IKM tahu ,dilakukan melalui proses purifikasi biogas. Teknologi Purifikasi Biogas dimaksudkan untuk menghilangkan gas-gas yang mengganggu proses pembakaran dan bahaya terhadap lingkungan seperti : uap air, Amonia (NH3) dan Hidrogen Sulfida (H2S). Hal ini diharapkan dapat meningkatkan kemurnian methane (CH4) dalam biogas.

Pada awal penelitian dilakukan karakterisasi biogas, kemudian pembuatan prototype alat pemurnian. Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode adsorpsi bertingkat. Adsorben yang digunakan adalah karbon aktif, baik pada tanki I maupun pada tanki II. Variabel yang diamati adalah waktu kontak dan jenis adsorben.

Hasil penelitian menunjukkan karakteristik awal kandungan methane dalam biogas sebesar 56,89 % dari 25.920 liter biogas yang terbentuk dan mengalami peningkatan kemurnian sebesar 17,16% setelah melalui proses purifikasi. Penggunaan adsorben terbaik adalah karbon aktif – karbon aktif dengan berat total 6 kg, kecepatan alir biogas 25 lt/menit dan waktu kontak 170 menit. Kondisi ini belum mencapai batas titik jenuh (isotherm adsorpsi Freundlich). Peningkatan kemurnian methane (CH4) 17,16% sebagai bentuk penerapan teknologi ramah lingkungan, yang memberikan manfaat secara ekonomi, mempunyai nilai tambah pada pengusaha tahu. Apabila dikonversi ke dalam harga elpiji, akan menghasilkan pendapatan bersih perbulan sebesar. Rp. 349.362,45 yang artinya IKM tahu mendapat manfaat penghematan biaya produksi tahu.

Banyak Industri tahu yang membuang limbah cair yang cukup banyak dan beban cemaraannya tinggi. Jika limbah cair tahu tersebut tidak diolah maka akan mencemari lingkungan. Pengolahan limbah cair tahu kebanyakan menggunakan cara fisis, kemis, biologis dan kombinasinya.Cara tersebut teknologinya tidak sederhana dan biayanya mahal maka susah bagi industri kecil untuk melaksanaakannya. Daur ulang limbah cair tahu juga sudah dilakukan misalnya untuk biogas dan nata de soya. Akan tetapi daur ulang tersebut, masih menghasilkan beban cemarannya tinggi.

Dalam penelitian ini  telah dilakukan penelitian daur ulang dengan cara mendaur ulangkan sebagian limbah cair tahu untuk air proses dan air umpan boiler serta kondensatnya untuk air pencuci setelah ekstraksi. Setelah daur ulang ke tujuh sisa limbah cair yang tidak didaur ulang dimasukkan ke boiler lalu diuapkan sampai habis.. Berdasarkan uraian tersebut diatas dirasa perlu untuk dibuat prototipe daur ulang limbah cair industri tahu yang sekaligus dapat menanggulangi pencmaran industri tahu. Prototipe yang dibuat hanya ekstraktor (jacketed vessel) dan boiler sedangkan peralatan proses lainnya menggunakan peralataan proses pembuatan tahu seperti pada umumnya. Hasil uji coba menunjukkan bahwa sampai dengan daur ulang ke tujuh, tahu yang dihasilkan masih sesuai SNI 01-3142-1998 dan air yang dihemat 73,5% serta energi yang dihemat 88,8 %.. Berdasarkan evaluasi ekonomi penggunaan bahan bakar LPG pada proses ini tidak layak sedangkan penggunaan bahan bakar kayu pada proses ini layak.

Gas-gas yang biasa ditemukan dalam limbah adalah gas nitrogen (N2 ), oksigen (O2 ), hidrogen sulfida (H2S), amonia (NH3 ), karbondioksida (CO2 ) dan metana (CH4). Gas-gas tersebut berasal dari dekomposisi bahan-bahan organik yang terdapat di dalam air buangan. Biogas adalah gas yang dihasilkan oleh aktivitas anaerobik atau fermentasi dari bahan-bahan organik termasuk diantaranya kotoran manusia dan hewan, limbah domestik (rumah tangga), limbah industri yang biodegradable atau limbah organik lainnya yang biodegradable dalam kondisi anaerobik. Kandungan utama dalam biogas adalah gas metan (CH4), karbon dioksida (CO2) dan gas lainnya seperti gas hidrogen sulfida (H2S), gas nitrogen (N2).

Gas hidrogen sulfida (H2S) merupakan salah satu gas dari IPAL industri tahu selain gas methan, yang tidak berwarna, berbau seperti telur busuk, bersifat racun yang amat berbahaya dan mematikan. Cemaran gas H2S yang berasal dari IPAL industri tahu, ini jumlahnya cukup besar sekitar 1110,7 mg/Nm3. Mengingat gas ini sangat beracun maka perlu dihilangkan sebelum dibuang ke lingkungan. Salah satu cara penghilangan adalah dengan proses desulfurisasi.

Bio-desulfurisasi merupakan proses penghilangan sulfur dengan memanfaatkan metabolisme mikroorganisme, yaitu dengan mengubah hidrogen sulfida menjadi sulfur elementer dengan katalis suatu enzim hasil metabolisme mikroorganisme sulfur jenis tertentu, tanpa mengubah senyawa hidrokarbon dalam aliran proses. Reaksi yang terjadi adalah reaksi aerobik, dan dilakukan dalam kondisi lingkungan teraerasi. Keunggulan proses ini adalah dapat menghilangkan senyawa sul fur yang sulit disingkirkan, misalnya alkylated dibenzothiophenes. Jenis mikroorganisme yang digunakan untuk proses bio-desulfurisasi umumnya berasal dari Rhodococcus sp dan Thiobacillus sp (NATCO, 2008).

Proses desulfurisasi dapat dilakukan dengan cara fisika-kimia dan biologi. Desulfurisasi secara fisika-kimia dapat dilakukan dengan cara ekstraksi menggunakan pelarut dan dekomposisi senyawa sulfur, sedang desulfurisasi secara biologi dilakukan dengan Bio-desulfurisasi .
Telah dilakukan penerapan teknologi bio-desulfurisasi pada IPAL industri tahu di Desa Purwogondo, Kartasura, Sukoharjo, dengan hasil penangkapan gas H2S dengan menggunakan pelarut Na2CO3 (larutan NaHS) sebesar 573,27 ppm pada konsentrasi Na2CO3 12,5%, dan dengan waktu kontak selama 150 menit. Hasil kristal sulfur optimal yang diperoleh sebesar 136,6 mg atau dapat menghilangkan senyawa H2S sebesar 52,01 % dengan waktu 12 jam.

DAFTAR REFERENSI

Basir , Dedy W.A. 2011.desain dan rekayasa prototipe daur ulang limbah cairindustri tahu.
.
Misbachul Moenir dan Rustiana Yuliasni. 2011.penerapan teknologi bio-desulfurisasigas hidrogensulfida (H2S) pada ipal industri tahu sebagaiupaya pengambilan kembalai (recovery) sulfur.

Nani Harihastuti , Ikha Rasti Julia Sari.2011.penerapan Teknologi Ramah Lingkungan Pada Pemanfaatan Hasil Purifikasi Biogas Memberikan Nilai Tambah Pada IKM Tahu




0 komentar:

Post a Comment