Prawacana
Masalah-masalah
pokok ekonomi, menurut para pakar, antara 1ain
mencakup :
·
Jenis dan jasa yang
diproduksi serta sistemnya.
·
Sistem distribusi
(untuk siapa barang dan jasa itu).
·
Efisiensi penggunaan
faktor-faktor produksi.
·
Inflasi
·
Resesi
·
Derivasi dari
persoalan-persoalan tersebut di atas.
Harus diakui bahwa al-Quran tidak menyajikan
rincian, tetapi hanya mengamanatkan nilai-nilai (prinsip-prinsip)-nya
saja. Sunnah Nabi dan analisis para ulama dan cendekiawan mengemukakan sebagian
dari rincian dalam rangka operasionalisasinya.
Uang Dalam Pandangan Al-Quran
Terlebih dahulu perlu dijelaskan pandangan
al-Quran tentang harta (uang) dan pengembangannya dalam kegiatan ekonomi. “Uang”
antara lain diartikan sebagai “harta” kekayaan, dan “nilai tukar bagi sesuatu”.
Berbeda dengan dugaan sementara orang yang beranggapan
bahwa Islam kurang menyambut baik kehadiran uang, pada
hakikatnya pandangan Islam terhadap uang dan harta amat positif. Manusia diperintahkan
Allah untuk mencari rezeki bukan hanya yang mencukupi
kebutuhannya, tetapi al-Quran memerintahkan untuk mencari apa yang
diistilahkannya fadhl Allah, yang secara harfiah
berarti “kelebihan yang bersumber dari Allah”. Salah satu ayat yang
menunjuk ini adalah:
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ
وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ
تُفْلِحُونَ
“Apabila telah ditunaikan sembahyang, maka
bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah
banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS
a1-Jumu’ah [62]: 10).
Kelebihan tersebut dimaksudkan
antara lain agar yang
memperoleh dapat melakukan ibadah secara
sempurna serta mengulurkan tangan bantuan kepada pihak lain yang
oleh karena satu dan lain sebab tidak berkecukupan.
Peranan Uang
Merujuk kepada Mu'jam al-Muhfaras (Kamus al-Quran)
oleh Fuad Abdul Baqi, kata mâl (uang) terulang dalam al-Quran sebanyak 25
(dua puluh lima) kali (dalam bentuk tunggal) dan amwâl (dalam bentuk
jamak) sebanyak 61 (enam puluh satu) kali.
Diamati oleh Hassan Hanafi sebagaimana dikemukakan dalam bukunya Ad-Din wa
ats-Tsaurah bahwa kata tersebut mempunyai dua bentuk:
·
tidak
dinisbahkan kepada "pemilik", dalam arti dia berdiri sendiri.
Ini – menurutnya -- adalah sesuatu yang logis karena memang
ada harta yang tidak menjadi objek kegiatan manusia, tetapi
berpotensi untuk itu.
·
dinisbahkan
kepada sesuatu, seperti "harta mereka",
harta anak-anak yatim, "harta kamu" dan 1ain-1ain. Ini adalah
harta yang menjadi objek kegiatan. Dan bentuk
inilah yang terbanyak digunakan dalam al-Quran.
Dalam pandangan al-Quran, uang merupakan
modal serta salah satu faktor
produksi yang penting, tetapi "bukan yang
terpenting". Manusia menduduki tempat di atas modal,
disusu1 sumber daya alam. Pandangan ini
berbeda dengan pandangan sebagian pelaku ekonomi modern yang
memandang uang sebagai segala sesuatu, sehingga tidak jarang
manusia atau sumber daya alam dianiaya atau ditelantarkan.
Modal tidak boleh
diabaikan, manusia berkewajiban menggunakannya
dengan baik, agar ia terus produktif dan tidak habis digunakan. Karena itu
seorang wali yang menguasai harta orang-orang yang
tidak atau belum mampu mengurus hartanya,
diperintahkan untuk mengembangkan harta
yang berada dalam kekuasaannya itu dan membiayai kebutuhan
pemiliknya yang tidak mampu itu, dari keuntungan perputaran modal, bukan
dari pokok modal. Ini dipahami dari redaksi surat an-Nisa'
(4): 5 yang dikutip di atas, di mana dinyatakan
Warzuqûhum fîhâ bukan Warzuqûhum minhâ. "Minhâ"
artinya "dari modal", sedang "fîhâ" berarti "di dalam
modal", yang dipahami sebagai ada sesuatu yang masuk
dari luar ke dalam (keuntungan) yang diperoleh dari hasil usaha.
Karena itu pula modal tidak boleh menghasilkan
dari dirinya sendiri, tetapi harus dengan usaha
manusia. Ini salah satu sebab mengapa membungakan uang,
dalam bentuk riba dan perjudian,
dilarang oleh al-Quran. Salah
satu hikmah pelarangan riba, serta pengenaan zakat sebesar
2,5% terhadap uang (walau tidak diperdagangkan)
adalah untuk mendorong aktivitas ekonomi, perputaran dana, serta
sekaligus mengurangi spekulasi serta penimbunan.
Dalam konteks ini al-Quran mengingatkan:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنَّ كَثِيرًا مِنَ
الْأَحْبَارِ وَالرُّهْبَانِ لَيَأْكُلُونَ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ
وَيَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ
وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ
أَلِيمٍ
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebahagian
besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan
harta orang dengan jalan yang batil dan mereka menghalang-halangi (manusia)
dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak
menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa
mereka akan mendapat) siksa yang pedih.” (QS
at-Taubah [9]. 34)
Bagi pemilik uang yang tidak atau kurang mampu
mengelola uangnya, para ulama mengembangkan cara-cara yang direstui oleh
al-Quran dan Sunnah Nabi, antara lain melalui apa yang dinamai murâbahah,
mudhârabah atau musyârakah.
Murâbahah adalah pembelian
barang menurut rincian yang ditetapkan oleh
pengutang, dengan keuntungan dan waktu
pembayaran yang disepakati. Mudhârabah adalah bergabungnya
tenaga kerja dengan pemilik modal, sebagai mitra usaha dan keuntungan
yang dibagi sesuai rasio yang disepakati. Musyârakah
adalah memadukan modal untuk
bersama-sama memutarnya, dengan kesepakatan tentang rasio laba
yang akan diterima.
Cara-cara ini akan mendorong setiap pemilik modal
untuk tidak membiarkan modalnya tersimpan tanpa perputaran. Bukankah uang
— seperti dikemukakan di atas — dijadikan Allah untuk sarana
kehidupan dan pemenuhan kebutuhan manusia?
Kebutuhan Manusia
“Kebutuhan” biasa diartikan sebagai “hasrat manusia yang
perlu dipenuhi atau dipuaskan”. Kebutuhan bermacam-macam dan bertingkat-tingkat,
namun secara umum ia dapat dibagi dalam tiga jenis sesuai
dengan tingkat kepentingannya. Primer (dharûriyyât), sekunder
(hajjiyyât), dan tertier (kamâliyyât).
Jenis kebutuhan kedua dan ketiga sangat
beraneka ragam, dan dapat berbeda-beda dari
seorang dengan lainnya, namun kebutuhan primer sejak dahulu
hingga kini dapat dikatakan sama dan telah dirumuskan
oleh para pakar sebagai kebutuhan sandang, pangan, dan
papan.
Al-Quran secara tegas menyebutkan
ketiga macam kebutuhan primer itu dan mengingatkan manusia pertama
tentang keharusan pemenuhannya sebelum manusia pertama itu menginjakkan
kakinya di bumi. Ketika Adam dan isterinya – Hawa — masih berada di
surga, Allah mengingatkan mereka berdua:
فَقُلْنَا يَاآدَمُ إِنَّ هَذَا عَدُوٌّ لَكَ وَلِزَوْجِكَ
فَلَا يُخْرِجَنَّكُمَا مِنَ الْجَنَّةِ فَتَشْقَى(١١٧) إِنَّ لَكَ أَلَّا تَجُوعَ
فِيهَا وَلَا تَعْرَى(١١٨) وَأَنَّكَ لَا تَظْمَأُ فِيهَا وَلَا تَضْحَى(١١٩)
Maka kami berkata: “Hai Adam, sesungguhnya ini (iblis)
adalah musuh bagimu dan bagi isterimu, maka sekali-kali janganlah sampai ia
mengeluarkan kamu berdua dari surga, yang menyebabkan kamu menjadi celaka.
Sesungguhnya kamu tidak akan kelaparan di dalamnya dan tidak akan telanjang.
dan sesungguhnya kamu tidak akan merasa dahaga dan tidak (pula) akan ditimpa
panas matahari di dalamnya”. (QS Thâhâ
[20]: 117-119).
Aktivitas Ekonomi
Aktivitas antar manusia — termasuk aktivitas ekonomi
—terjadi melalui apa yang diistilahkan oleh ulama dengan mu’âmalah (interaksi).
Pesan utama al-Quran dalam mu’âmalah keuangan atau
aktivitas ekonomi adalah:
وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ
وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ
النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian
yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa
(urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada
harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu
mengetahui.” (QS al-Baqarah [2]: 188).
Kata “bâthil” diartikan
sebagai “segala sesuatu yang bertentangan
dengan ketentuan dan nilai agama”. Bukan di sini tempatnya merinci
cakupan kata bâthil, apalagi al-Quran — sejalan dengan sikapnya terhadap
hal-hal yang bukan bersifat ibadah murni –
pada dasarnya tidak memberikan perincian. Ini untuk
memberikan peluang kepada manusia atau masyarakat
yang sifatnya selalu berubah, agar menyesuaikan diri
dengan perubahan masyarakat sepanjang sejalan
dengan nilai-nilai Islam.
Riba
Kata “riba” dari segi bahasa
berarti “kelebihan”. Kalau kita hanya berhenti pada makna kebahasaan
ini, maka logika yang dikemukakan
para penentang “riba” pada masa
Nabi dapat dibenarkan. Ketika itu mereka berkata — seperti yang
diungkapkan al-Quran — bahwa “jual beli sama saja dengan riba” (QS al-Baqarah
[2]: 275), Allah menjawab mereka dengan tegas bahwa “Allah menghalalkan
jual beli dan mengharamkan “riba”.” Penegasan ini dikemukakan-Nya tanpa
menyebut alasan secara eksplisit, namun dapat dipastikan bahwa pasti ada
alasan atau hikmah sehingga ini diharamkan dan itu dihalalkan.
Sementara ulama, semacam
Sayyid Muhammad Rasyid Ridha, memahami bahwa “riba” yang diharamkan
al-Quran hanya riba yang “berlipat ganda”. Lipat ganda yang dimaksud di
sini adalah “pelipatgandaan yang berkali-kali”.
Memang pada zaman jahiliah dan awal
Islam, apabila seorang debitur yang tidak mampu membayar
utangnya pada saat yang ditentukan, ia meminta untuk
ditangguhkan dengan janji membayar berlebihan, demikian berulang-ulang.
Sikap
semacam ini amat dikecam oleh al-Quran, sebagaimana
firman Allah:
وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ
وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Bila debitur berada dalam kesulitan, maka
hendaklah diberi tangguh hingga ia memperoleh
keleluasaan dan menyedekahkan (semua atau
sebagian dan piutang) (lebih baik untuknya jika kamu mengetahui)” (QS al-Baqarah [2]: 280).
Pendapat
yang memahami “riba” yang diharamkan
hanya yang berlipat ganda, tidak diterima
oleh banyak ulama. Bukan saja karena masih ada ayat
lain yang turun sesudahnya, yang memerintahkan untuk
meninggalkan sisa riba yang belum diambil,
Kesimpulan yang
dapat kita peroleh dari ayat-ayat al-Quran yang berbicara tentang
“riba”, demikian pula hadis Nabi dan riwayat-riwayat lainnya adalah,
bahwa “riba” yang dipraktikkan pada masa turunnya al-Quran adalah
kelebihan yang dipungut bersama jumlah utang, pungutan yang mengandung
penganiayaan dan penindasan, bukan sekadar kelebihan atau
penambahan dan jumlah utang.
Kesimpulan di atas
diperkuat pula dengan praktik Nabi Saw. yang membayar utangnya dengan
berlebihan. Dalam konteks pembayaran berlebihan inilah Nabi Saw.
bersabda:
إِنَّ خِيَارَ النَّاسِ أَحْسَنُهُمْ قَضَاءً (رواه مسلم عن
أبي رافع)
“Sebaik-baik manusia adalah yang sebaik-baik membayar
utang.” (Diriwayatkan oleh Muslim,
melalui — sahabat Nabi — Abu Rafi’).
(Yakni, antara
lain “melebihkan”. Hanya saja, tentu harus digarisbawahi, bahwa kelebihan
pembayaran itu tidak bersyarat pada awal transaksi)
Nah, bagaimana dengan praktik perbankan dewasa ini?
Ulama sejak dahulu hingga kini belum dan besar kemungkinan
tidak akan sepakat, karena sikap kehati-hatian tetap menghiasi diri orang-orang
yang bertakwa.
Demikian sekelumit dan prinsip-prinsip ajaran al-Quran
tentang ekonomi. Intinya adalah
keadilan, kerja sama, serta keseimbangan
dan lain-lain. Dan semua itu tercakup dalam larangan melakukan transaksi apa
pun yang berbentuk bâthil, eksploitasi atau segala bentuk
penganiayaan.
(Dikutip
dan dimodifikaasi dari tulisan M. Quraish Shihab dalam http://media.isnet.org
untuk keperluan kajian Ekonomi Syariah)
0 komentar:
Post a Comment