Saturday, May 31, 2014

NILAI DAN DOKTRIN EKONOMI DALAM AL-QURAN DAN HADIS


Prawacana
Masalah-masalah pokok  ekonomi, menurut  para  pakar,   antara 1ain mencakup :
·         Jenis dan jasa yang diproduksi serta sistemnya.
·         Sistem distribusi (untuk siapa barang  dan jasa itu).
·         Efisiensi penggunaan faktor-faktor produksi.
·         Inflasi
·         Resesi
·         Derivasi dari persoalan-persoalan tersebut di atas.

Harus  diakui  bahwa al-Quran tidak menyajikan rincian, tetapi hanya mengamanatkan nilai-nilai (prinsip-prinsip)-nya  saja. Sunnah Nabi dan analisis para ulama dan cendekiawan mengemukakan sebagian dari rincian dalam rangka operasionalisasinya.
Uang Dalam Pandangan Al-Quran
Terlebih dahulu perlu dijelaskan pandangan al-Quran tentang harta (uang) dan pengembangannya dalam kegiatan ekonomi. “Uang” antara lain diartikan sebagai “harta” kekayaan, dan “nilai tukar bagi sesuatu”.
Berbeda dengan dugaan sementara orang yang beranggapan bahwa Islam kurang menyambut baik kehadiran  uang,  pada  hakikatnya pandangan Islam terhadap uang dan harta amat positif. Manusia diperintahkan Allah untuk  mencari  rezeki  bukan  hanya yang mencukupi kebutuhannya, tetapi al-Quran memerintahkan untuk mencari apa yang  diistilahkannya  fadhl  Allah,  yang  secara harfiah  berarti  “kelebihan yang bersumber dari Allah”. Salah satu ayat yang menunjuk ini adalah:
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Apabila telah ditunaikan sembahyang, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS a1-Jumu’ah [62]: 10).
Kelebihan tersebut  dimaksudkan   antara   lain   agar   yang memperoleh   dapat  melakukan  ibadah  secara  sempurna  serta mengulurkan tangan bantuan kepada pihak lain yang oleh  karena satu dan lain sebab tidak berkecukupan.
Peranan Uang
Merujuk kepada Mu'jam al-Muhfaras (Kamus al-Quran)  oleh  Fuad Abdul Baqi, kata mâl (uang) terulang dalam al-Quran sebanyak 25 (dua puluh lima) kali (dalam bentuk tunggal) dan amwâl (dalam bentuk  jamak) sebanyak  61 (enam  puluh  satu)  kali.  Diamati oleh Hassan Hanafi sebagaimana dikemukakan dalam bukunya Ad-Din wa ats-Tsaurah bahwa kata tersebut mempunyai dua bentuk:
·         tidak  dinisbahkan  kepada "pemilik", dalam arti dia berdiri sendiri. Ini – menurutnya -- adalah sesuatu yang  logis karena  memang  ada  harta  yang  tidak menjadi objek kegiatan manusia, tetapi berpotensi untuk itu.
·         dinisbahkan kepada  sesuatu,  seperti  "harta  mereka", harta  anak-anak yatim, "harta kamu" dan 1ain-1ain. Ini adalah harta yang menjadi objek  kegiatan.  Dan  bentuk  inilah  yang terbanyak digunakan dalam al-Quran.
Dalam pandangan al-Quran, uang  merupakan  modal  serta  salah satu   faktor   produksi  yang  penting,  tetapi  "bukan  yang terpenting". Manusia menduduki tempat di  atas  modal,  disusu1 sumber  daya  alam.  Pandangan  ini  berbeda  dengan pandangan sebagian pelaku ekonomi modern yang  memandang  uang  sebagai segala sesuatu, sehingga tidak jarang manusia atau sumber daya alam dianiaya atau ditelantarkan.
Modal   tidak   boleh    diabaikan,    manusia    berkewajiban menggunakannya  dengan baik, agar ia terus produktif dan tidak habis digunakan. Karena itu seorang wali yang menguasai  harta orang-orang  yang  tidak  atau  belum mampu mengurus hartanya,
diperintahkan untuk  mengembangkan  harta  yang  berada  dalam kekuasaannya itu dan membiayai kebutuhan pemiliknya yang tidak mampu itu, dari keuntungan perputaran modal, bukan dari  pokok modal.  Ini  dipahami  dari redaksi surat an-Nisa' (4): 5 yang dikutip di atas, di  mana  dinyatakan  Warzuqûhum  fîhâ  bukan Warzuqûhum  minhâ. "Minhâ" artinya "dari modal", sedang "fîhâ" berarti "di dalam modal", yang dipahami  sebagai  ada  sesuatu yang masuk dari luar ke dalam (keuntungan) yang diperoleh dari hasil usaha.
Karena itu pula modal tidak boleh  menghasilkan  dari  dirinya sendiri,  tetapi  harus  dengan  usaha manusia. Ini salah satu sebab  mengapa  membungakan  uang,  dalam  bentuk   riba   dan perjudian,   dilarang   oleh   al-Quran.   Salah  satu  hikmah pelarangan riba, serta pengenaan zakat sebesar  2,5%  terhadap uang  (walau  tidak  diperdagangkan)  adalah  untuk  mendorong aktivitas ekonomi, perputaran dana, serta sekaligus mengurangi spekulasi   serta   penimbunan.  Dalam  konteks  ini  al-Quran mengingatkan:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنَّ كَثِيرًا مِنَ الْأَحْبَارِ وَالرُّهْبَانِ لَيَأْكُلُونَ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَيَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan yang batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.” (QS at-Taubah [9]. 34)
Bagi pemilik uang yang tidak atau kurang mampu  mengelola uangnya, para ulama mengembangkan cara-cara yang direstui oleh al-Quran dan Sunnah Nabi, antara lain melalui apa yang dinamai murâbahah, mudhârabah atau musyârakah.
Murâbahah   adalah   pembelian  barang  menurut  rincian  yang ditetapkan  oleh  pengutang,  dengan  keuntungan   dan   waktu pembayaran yang disepakati. Mudhârabah  adalah  bergabungnya  tenaga  kerja dengan pemilik modal, sebagai mitra usaha dan keuntungan yang  dibagi  sesuai rasio yang disepakati. Musyârakah   adalah   memadukan   modal   untuk   bersama-sama memutarnya, dengan kesepakatan tentang rasio  laba  yang  akan diterima.
Cara-cara  ini akan mendorong setiap pemilik modal untuk tidak membiarkan modalnya tersimpan tanpa perputaran. Bukankah  uang — seperti  dikemukakan  di atas — dijadikan Allah untuk sarana kehidupan dan pemenuhan kebutuhan manusia?

Kebutuhan Manusia
“Kebutuhan” biasa diartikan sebagai “hasrat manusia yang perlu dipenuhi atau dipuaskan”. Kebutuhan bermacam-macam dan bertingkat-tingkat, namun secara umum ia dapat dibagi dalam tiga jenis  sesuai  dengan  tingkat kepentingannya.  Primer  (dharûriyyât), sekunder (hajjiyyât), dan tertier (kamâliyyât).
Jenis kebutuhan kedua dan ketiga sangat  beraneka  ragam,  dan dapat   berbeda-beda   dari   seorang  dengan  lainnya,  namun kebutuhan primer sejak dahulu hingga kini dapat dikatakan sama dan   telah  dirumuskan  oleh  para  pakar  sebagai  kebutuhan sandang, pangan, dan papan.
Al-Quran  secara  tegas  menyebutkan  ketiga  macam  kebutuhan primer itu dan mengingatkan manusia pertama tentang keharusan pemenuhannya sebelum manusia pertama itu menginjakkan  kakinya di  bumi. Ketika Adam dan isterinya – Hawa — masih berada di surga, Allah mengingatkan mereka berdua:
فَقُلْنَا يَاآدَمُ إِنَّ هَذَا عَدُوٌّ لَكَ وَلِزَوْجِكَ فَلَا يُخْرِجَنَّكُمَا مِنَ الْجَنَّةِ فَتَشْقَى(١١٧) إِنَّ لَكَ أَلَّا تَجُوعَ فِيهَا وَلَا تَعْرَى(١١٨) وَأَنَّكَ لَا تَظْمَأُ فِيهَا وَلَا تَضْحَى(١١٩)
Maka kami berkata: “Hai Adam, sesungguhnya ini (iblis) adalah musuh bagimu dan bagi isterimu, maka sekali-kali janganlah sampai ia mengeluarkan kamu berdua dari surga, yang menyebabkan kamu menjadi celaka. Sesungguhnya kamu tidak akan kelaparan di dalamnya dan tidak akan telanjang. dan sesungguhnya kamu tidak akan merasa dahaga dan tidak (pula) akan ditimpa panas matahari di dalamnya”. (QS Thâhâ [20]: 117-119).
Aktivitas Ekonomi
Aktivitas antar manusia — termasuk aktivitas ekonomi —terjadi melalui apa yang diistilahkan oleh ulama dengan mu’âmalah (interaksi). Pesan utama  al-Quran  dalam  mu’âmalah  keuangan atau aktivitas ekonomi adalah:
وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS al-Baqarah [2]: 188).
Kata  “bâthil”   diartikan   sebagai   “segala   sesuatu   yang bertentangan dengan ketentuan dan nilai agama”. Bukan di sini  tempatnya merinci cakupan kata bâthil, apalagi al-Quran — sejalan dengan sikapnya terhadap hal-hal yang bukan bersifat   ibadah   murni –  pada  dasarnya  tidak  memberikan perincian. Ini untuk memberikan peluang  kepada  manusia  atau masyarakat  yang  sifatnya  selalu  berubah, agar menyesuaikan diri dengan  perubahan  masyarakat  sepanjang  sejalan  dengan nilai-nilai Islam.
Riba
Kata  “riba”  dari  segi  bahasa berarti “kelebihan”. Kalau kita hanya berhenti pada makna kebahasaan  ini,  maka  logika  yang dikemukakan   para   penentang   “riba”  pada  masa  Nabi  dapat dibenarkan. Ketika itu mereka berkata — seperti yang diungkapkan al-Quran — bahwa “jual beli sama saja dengan riba” (QS al-Baqarah [2]: 275), Allah menjawab mereka dengan tegas bahwa  “Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan “riba”.” Penegasan ini dikemukakan-Nya tanpa menyebut alasan secara eksplisit,  namun dapat dipastikan bahwa pasti ada alasan atau hikmah sehingga ini diharamkan dan itu dihalalkan.
Sementara   ulama,   semacam  Sayyid  Muhammad  Rasyid  Ridha, memahami bahwa “riba” yang diharamkan al-Quran hanya  riba yang “berlipat ganda”. Lipat ganda yang dimaksud di sini adalah “pelipatgandaan yang berkali-kali”.
Memang pada zaman jahiliah dan  awal  Islam,  apabila  seorang debitur yang tidak mampu  membayar utangnya pada saat yang ditentukan, ia  meminta  untuk  ditangguhkan  dengan janji membayar berlebihan, demikian berulang-ulang.
Sikap  semacam  ini  amat  dikecam  oleh al-Quran, sebagaimana firman Allah:
وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Bila debitur berada dalam kesulitan, maka hendaklah      diberi tangguh hingga ia memperoleh keleluasaan dan      menyedekahkan (semua atau sebagian dan piutang) (lebih baik untuknya jika kamu mengetahui)” (QS al-Baqarah [2]: 280).
Pendapat  yang  memahami  “riba”  yang  diharamkan  hanya   yang   berlipat  ganda,  tidak diterima oleh banyak ulama. Bukan saja karena  masih  ada  ayat  lain  yang  turun  sesudahnya,  yang memerintahkan untuk meninggalkan sisa riba yang belum diambil,
Kesimpulan yang dapat  kita  peroleh dari ayat-ayat al-Quran yang berbicara tentang “riba”, demikian pula hadis Nabi dan riwayat-riwayat lainnya  adalah, bahwa “riba” yang dipraktikkan pada masa turunnya al-Quran  adalah  kelebihan  yang dipungut bersama jumlah utang, pungutan yang mengandung penganiayaan dan penindasan, bukan sekadar kelebihan  atau  penambahan  dan jumlah utang.
Kesimpulan di atas diperkuat pula dengan praktik Nabi Saw. yang membayar utangnya dengan berlebihan. Dalam  konteks pembayaran berlebihan inilah Nabi Saw. bersabda:
إِنَّ خِيَارَ النَّاسِ أَحْسَنُهُمْ قَضَاءً (رواه مسلم عن أبي رافع)
“Sebaik-baik manusia adalah yang sebaik-baik membayar utang.” (Diriwayatkan oleh Muslim,  melalui  — sahabat  Nabi —  Abu Rafi’).
(Yakni, antara lain “melebihkan”. Hanya saja, tentu harus digarisbawahi, bahwa kelebihan pembayaran itu  tidak  bersyarat pada awal transaksi)
Nah, bagaimana dengan praktik perbankan dewasa ini?
Ulama sejak dahulu hingga kini belum dan besar kemungkinan tidak akan sepakat, karena sikap kehati-hatian tetap menghiasi diri orang-orang yang bertakwa.
Demikian sekelumit dan prinsip-prinsip ajaran al-Quran tentang ekonomi.  Intinya   adalah   keadilan,   kerja   sama,   serta keseimbangan dan lain-lain. Dan semua itu tercakup dalam larangan melakukan transaksi apa pun  yang  berbentuk  bâthil, eksploitasi atau segala bentuk penganiayaan.
(Dikutip dan dimodifikaasi dari tulisan M. Quraish Shihab dalam http://media.isnet.org untuk keperluan kajian Ekonomi Syariah)


0 komentar:

Post a Comment